Latest News

Kisah Sampah Plastik

KERTAS KECIL - Kisah ini bermula disebuah tempat umum yang disebut jalan raya. Dipinggiran jalan raya yang sangat bising dengan kendaraan yang berlalu-lalang terlihat sebuah plastik merah dalam ukuran lumayan besar tergeletak disana. Dalam plastik merah terdapat sisa-sisa makananan berupa gorengan yang membuatnya terlihat berminyak. Hampir semalaman plastik merah terdampar disitu, kini dia basah setelah tadi pagi disiram gerimis. Plastik yang basah dan berminyak, tentunya orangpun jijik hendak memungutnya.

Tiba-tiba si plastik merah terkejut saat mendengar suara jeritan dari atas. “Huaaaaaaa….!!!”, terdengar nyaring sekali suara itu. Rupanya itu adalah suara plastik kecil bekas bungkus permen yang berasal dari jendela sebuah bis yang lewat jalan tersebut.

“Hei, siapa kamu? Kenapa kamu mendarat disini juga?” tanya si plastik merah pada bungkus permen.

“Kenalkan, aku bungkus permen. Ini nih, aku baru saja dilempar seenaknya oleh tuanku, setelah isiku dimakan. Jahat sekali tuanku itu, melemparku sembarangan di jalanan!”, jawab si bungkus permen pada plastik merah.

“Wah, kita bernasib sama. Aku juga dibuang disini oleh tuanku setelah aku dipakai untuk wadah gorengan. Benar-benar tak punya hati mereka.” ucap si plastik merah kesal.

“Aduh!!”
Tiba-tiba terdengar suara yang membuat si plastik merah dan bungkus permen saling pandang.

“Kau dengar itu? sepertinya ada suara yang mengaduh.” Kata bungkus permen pada plastik merah.

“Iya, tapi mana wujudnya, ya?” sela plastik merah penasaran sambil melihat sekeliling.

“Hai, aku disini, kawan.” Suara itu membuat plastik merah dan bungkus permen menengok bersamaan ke arah sumber suara.

“Wah, kau bungkus sabun colek? Badanmu sedikit tertutup tanah dan basah. Pantas tidak kelihatan. Kenapa kamu disini juga?” tanya plastik merah.

“Setelah sabun didalamku habis, tuanku membuangku. Sudah tiga hari disini, banyak tanah memenuhi tubuhku. Air hujan juga membuatku basah.” jawab bungkus sabun colek dengan sedih.

“Menyeramkan!! Apakah nasib kita yang terdampar disini akan sama sepertimu juga?”, tanya bungkus permen sedikit murung.


“Sebenarnya tidak semua, kok. Banyak teman-teman kita bertemu tuan yang baik hati, memunguti kita yang terdampar disini dengan tujuan agar kecantikan daerah tetap terjaga. Mungkin karena tak ada yang melihat tubuhku yang sedikit tertimbun tanah, sehingga tak ada yang memungutku. Tapi, banyak juga teman-teman kita yang malang, kadang mereka terkena angin hingga terdampar diarea pepohonan. Biasanya pohon-pohon menjadi marah karena kehadiran kita mengurangi kecantikan pohon-pohon. Jika kita terdampar di sungai, sudah bisa dipastikan juga sungai akan marah. Yang lebih parah lagi pas musim hujan, mungkin karena terlalu marahnya, tak jarang sungai akan meluapkan airnya karena kita mengganggu aliran sungai.” terang si bungkus sabun colek.

“Ya ampun, begitu jeleknya keberadaan kita. Oh ya, aku juga pernah dengar banyak teman-teman plastik sejenis kita yang dibakar dan menghasilkan gas yang tentu saja membuat bumi makin panas”, tukas si bungkus permen.

“Cup…cup, sudah jangan terlalu sedih. Selain tuan-tuan yang membuang kita seenaknya, masih ada kok tuan-tuan yang peduli dengan kita. Mereka memilah kita dulu, memisahkan kita bangsa plastik dari sampah organik. Setelah dipisah, tuan-tuan yang baik itu memanfaatkan kita lagi dengan mendaur ulang. Jadi, kita masih bisa bermanfaat untuk manusia lagi.” Jelas si plastik merah pada kedua temannya.

“Leganya, semoga nanti kita semua bertemu dengan tuan yang baik hati, yang tidak mencampakan kita seperti ini.” ucap bungkus sabun colek dengan tersenyum.

“Aamiin”, serentak plastik merah dan bungkus permen mengamini perkataan si bungkus sabun colek.