Setengah abad lalu, para ahli geologi dan geofisik
membuktikan bahwa lapisan kerak Bumi atau litosfir terdiri dari
puluhan lempengan besar dan kecil yang mengambang pada cairan
magma. Lapisan kerak Bumi yang ketebalannya rata-rata 100
kilometer itu bergerak saling menjauh, atau saling mendekat dan
tidak jarang bertabrakan. Apa yang terjadi jika dua atau lebih
lempeng tektonik bertumbukan ?. Dalam waktu singkat memang
sulit melihat dampaknya. Karena lempeng tektonik itu bergerak
dalam kecepatan amat lambat, yakin hanya beberapa sentimeter
setahunnya. Para ahli geologi dari pusat penelitian Geomar di
Universitas Kiel Jerman, yang meneliti tumbukan lempeng Cocos
dan lempeng Karibia di Costa Rica melaporkan beberapa bukti
baru. Dengan metode pengukuran geofisik, untuk pertama kalinya
dibuktikan, bahwa lempengen tektonik ketika menumbuk lempeng
kontinen, mengikis material dari lapisan bawah lempeng
kontinen. Lempeng tektonik Cocos yang berat jenisnya lebih
kecil dari lempeng kontinen Karibia, menyusup miring ke bawah
lempeng kontinen. Tumbukan ini disebut subduksi. Dampak timbal
balik dari subduksi pada kedalaman lebih dari 100 kilometer
itu, terlihat sepanjang puluhan kilometer di atas permukaan.
Yakni dalam bentuk rangkaian pegunungan berapi, akibat
meleburnya batuan, cairan dan gas di zone subduksi tadi. Juga
kawasan tumbukan semacam itu merupakan kawasan pusat kegempaan
dunia. Yang lebih dramatis lagi pada zone subduksi di Costa
Rica, adalah munculnya palung sedalam rata-rata 4.000 meter dan
pegunungan di laut dalam. Lempeng tektonik Cocos menabrak
frontal lempeng kontinen Karibia dengan kecepatan 9 sentimeter
per tahun. Kapal penelitian Jerman, Sonne berhasil mengukur
kontur pegunungan di laut dalam itu. Lebarnya antara 10 sampai
20 kilometer dan tinggi pegunungannya antara 1000 sampai 2500
meter. Semuanya berada di bawah permukaan laut, dan menunjukan
aktifitas subduksi lempeng tektonik. Di pinggiran zone
tumbukan, para ahli menemukan sedimen batuan lunak. Namun
ketika tumbukan mencapai zone inti kontinen, yang terdiri dari
batuan keras, tidak ditemukan kondisi dramatis seperti
diperkirakan semula. Akibat tekanan amat besar di zone tumbukan
itu, muncul cairan yang berfungsi seperti pelumas. Dengan
demikian deformasi dan erosi batuan tidak sehebat yang diduga,
karena adanya efek pelumasan tadi. Akan tetapi sedimen dari
dasar lautan ditekan naik sampai ke puncak gunung di bawah laut
dan pecah di sana. Juga lapisan di bawah lempeng kontinen,
digerus hebat oleh subduksi lempeng Cocos tsb. Hasil erosinya
tertekan ke atas permukaan membentuk sedimen batuan muda di
sepanjang zone subduksi. Yang lebih menarik lagi, pengukuran
menggunakan sonar di kawasan subduksi ini menemukan lensa
batuan raksasa sepanjang 15 kilometer selebar 1,5 kilometer.
Para ahli bertanya-tanya dari mana asal lensa raksasa ini.
Banyak teori subduksi yang tidak cocok diterapkan untuk
menerangkan fenomena tsb.
Lempeng Tektonik adalah setruktur dan bentuk bumi khususnya susunan
batuan yang membentuk benua, pulau ataupun gunung. Pulau atau benua pada
dasarnya ditopang oleh sebuah plat atau landasan yang kuat ke dasar
bumi yang sebagian besar tertutup oleh lautan.
Tiap pulau atapun benua memiliki pelat atau landasan yang masing-masing berdiri sendiri atau bersamaan, dan pelat ini setiap saat bergeser sedikit demi sedikit kearah tertentu. Kalau seandainya ribuan tahun silam permukaan bumi telah digambarkan pada atlas atau peta, maka gambaran pada atlas tersebut tidaklah sama dengan keadaan permukaan bumi saat ini.
Pelat-pelat yang bergeser ini memicu timbulnya pelat baru karena keretakan dan juga dapat membentuk sungai bawah tanah dan sungai bawah laut (Palung) karena pelat yang bergeser saling menjauhi. Pergeseran pelat tersebut membentuk garis yang disebut garis tektonik, dan di Indonesia merupakan ujung dari pertemuan dua garis tektonik besar didunia.
Gempa bumi yang sering terjadi di berbagai belahan dunia lebih sering disebabkan oleh pergeseran pelat tektonik ini. Misalnya gempa yang terjadi di Samudra Hindia (gempa Aceh) tersebut berkaitan dengan deformasi mendadak antara pelat Hindia dan pelat Burma disekitar palung sunda. Dalam penyelidikan, Deformasi mendadak antara kedua pelat tersebut mengakibatkan pergeseran spontan secara vertikal sekitar 10 meter antara pelat India dengan Pelat Burma serta pergeseran secara horisontal saling menjauh sepanjang 15 meter yang terjadi pada kedalaman 1.200 km dibawah permukaan laut. Kejadian ini juga menimbulkan gempa bumi bawah laut sedalam 30 km dengan magnitudo 9 skala richter, dan menyebabkan air laut disekitar epicenter turun mendadak sehingga kemudian menimbulkan tsunami yang menyebar 360ยบ dari epicenter gempa.
Pergeseran plat tektonik (lempeng tektonik) tidak hanya dapat
menimbulkan gempa bumi, akan tetapi juga pergerakan cairan panas didalam
bumi yang akhirnya juga akan mempengaruhi aktivitas vulkanik di muka
bumi.
Secara umum, penelitian zone subduksi di Costa Rica berhasil menghimpun data perubahan sifat material akibat penujaman dua lempeng tektonik, serta mekanisme perpindahan fluida di dalam inti Bumi. Yang lebih penting lagi adalah diperolehnya pengetahuan mengenai gerakan material di kawasan subduksi, yang mempengaruhi munculnya gempa besar. Sejak lama para ahli geofisik memang meneliti fenomena gempa hebat di kawasan Pasifik dan Laut Tengah. Mengapa di kedua kawasan itu seringkali dilepaskan energi seismik amat dahsyat. Selain itu para ahli juga hendak meneliti fenomena Tsunami. Karena tidak semua gempa hebat di zone subduksi memicu munculnya tsunami atau gelombang pasang akibat gempa. Semakin tinggi resolusi data refleksi seismiknya, ditunjang semakin tinggi kinerja komputer untuk menganalisisnya, semakin banyak rincian data yang diperoleh para ahli. Tujuan para ahli terus meneliti sifat pergerakan lempeng tektonik ini adalah untuk mengenal mekanismenya. Sasarannya adalah untuk membuat pra-kiraan terjadinya bencana alam, khususnya gempa bumi dan aktivitas gunung api. Namun penelitian ilmiah semacam itu memang tidak menarik secara ekonomis. Para peneliti geofisik pergerakan lempeng tektonik menyebutkan, peralatan standar maupun metode yang diterapkan, amat jauh ketinggalan dibanding metode dan peralatan yang digunakan industri minyak multinasional.