Tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN) yang hampir mencapai 100 persen
dianggap belum mampu menjawab prestasi dalam dunia pendidikan.
Anggota Komisi X DPR Rohmani mengatakan, jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menginginkan tingkat kelulusan mencapai 100 persen, maka akan dengan mudah hasil itu tercapai. Seperti yang terjadi saat ini, kepala daerah memerintahkan sekolah untuk menyukseskan UN. Dalam hal ini, kepala daerah terdesak program yang dicanangkan pemerintah pusat agar tidak terkena sanksi. Sementara sekolah pun menerapkan prinsip Asal Bapak Senang (ABS).
Politikus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini pun menyatakan, tingkat kelulusan UN SMA yang mencapai 99,50 persen tersebut juga bukan prestasi, melainkan semacam bom waktu. Pola evaluasi kelulusan yang salah ini, kata Rohmani, malah akan semakin merusak pendidikan karakter. Dia pun mengajak Kemendikbud untuk mengubah orientasi evaluasi dari hasil ke proses, dan UN sebatas dijadikan pemetaan pendidikan.
"UN akan menjadikan siswa mengejar nilai dan bukan bagaimana mengatasi suatu permasalahan," katanya.
Ketua Umum Persatuan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistiyo mengatakan, belum dapat dikatakan suatu pencapaian tertinggi apabila masih banyak laporan akan kecurangan yang dilakukan sekolah agar siswanya lulus 100 persen. Sementara, pemerintah pun masih butuh pengawalan ketat dalam pelaksanaan UN. Misalnya dengan keberadaan pengawas dari perguruan tinggi dan kepolisian.
Sulistiyo menyatakan, UN hanya menjadi sebuah bukti kesuksesan pemerintah untuk memaksakan metode penentuan kelulusan secara praktis yang tidak mempunyai efek baik bagi perkembangan siswa itu sendiri. Anggota DPD RI ini melihat, ironis jika keberadaan UN malah semakin membuat peserta didik tertekan.
Pendidikan karakter yang digaungkan pemerintah pun semakin terhapus ketika banyak siswa yang mencari kunci jawaban. Tidak hanya itu, siswa juga tidak semakin pintar, karena materi soal pilihan ganda yang diberikan tidak mengasah kepandaian untuk memecahkan masalah. Sulistiyo berharap, UN dihapus dan pemerintah memberikan kebebasan bagi sekolah untuk meluluskan siswanya secara mandiri namun tetap menjaga kualitas lulusan yang dihasilkan.
Anggota Komisi X DPR Rohmani mengatakan, jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menginginkan tingkat kelulusan mencapai 100 persen, maka akan dengan mudah hasil itu tercapai. Seperti yang terjadi saat ini, kepala daerah memerintahkan sekolah untuk menyukseskan UN. Dalam hal ini, kepala daerah terdesak program yang dicanangkan pemerintah pusat agar tidak terkena sanksi. Sementara sekolah pun menerapkan prinsip Asal Bapak Senang (ABS).
Politikus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini pun menyatakan, tingkat kelulusan UN SMA yang mencapai 99,50 persen tersebut juga bukan prestasi, melainkan semacam bom waktu. Pola evaluasi kelulusan yang salah ini, kata Rohmani, malah akan semakin merusak pendidikan karakter. Dia pun mengajak Kemendikbud untuk mengubah orientasi evaluasi dari hasil ke proses, dan UN sebatas dijadikan pemetaan pendidikan.
"UN akan menjadikan siswa mengejar nilai dan bukan bagaimana mengatasi suatu permasalahan," katanya.
Ketua Umum Persatuan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistiyo mengatakan, belum dapat dikatakan suatu pencapaian tertinggi apabila masih banyak laporan akan kecurangan yang dilakukan sekolah agar siswanya lulus 100 persen. Sementara, pemerintah pun masih butuh pengawalan ketat dalam pelaksanaan UN. Misalnya dengan keberadaan pengawas dari perguruan tinggi dan kepolisian.
Sulistiyo menyatakan, UN hanya menjadi sebuah bukti kesuksesan pemerintah untuk memaksakan metode penentuan kelulusan secara praktis yang tidak mempunyai efek baik bagi perkembangan siswa itu sendiri. Anggota DPD RI ini melihat, ironis jika keberadaan UN malah semakin membuat peserta didik tertekan.
Pendidikan karakter yang digaungkan pemerintah pun semakin terhapus ketika banyak siswa yang mencari kunci jawaban. Tidak hanya itu, siswa juga tidak semakin pintar, karena materi soal pilihan ganda yang diberikan tidak mengasah kepandaian untuk memecahkan masalah. Sulistiyo berharap, UN dihapus dan pemerintah memberikan kebebasan bagi sekolah untuk meluluskan siswanya secara mandiri namun tetap menjaga kualitas lulusan yang dihasilkan.
sumber : okezone